Kemungkinan pencabutan pengalokasian dana APBD untuk klub sepakbola pada tahun 2008 memunculkan konsekuensi pahit. Mereka dituntut mencari lumbung pendanaan baru agar bisa eksis di kompetisi. Penjualan klub yang rata-rata dimiliki pemerintah daerah ke pihak swasta menjadi solusi paling realistis.
Dua tim papan atas, Persib dan Persik, secara terang-terangan membuka diri pada pihak swasta yang ingin mengambil alih kepemilikan.
“Biaya untuk menghidupi klub sangat besar. Kami harus menanggung gaji plus akomodasi selama menjalani kompetisi. Itu belum terhitung alokasi pemugaran stadion mengikuti aturan Liga Super yang diisyaratkan BLI. Tanpa APBD bagaimana kami bisa menutup semua itu?” ujar Dada Rosada, Wali Kota Persib.
Sebetulnya manajemen Persib telah menawarkan pola sponsorship dan kerja sama kepada BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta nasional, tapi belum membuahkan hasil signifikan. Manajemen sulit mendapat sponsor yang memberi dukungan biaya di atas Rp 3,5 miliar hingga Rp 5 miliar.
"Jika ada yang berani membayar Rp 50 miliar kami akan lepas," kata Dada.
Begitu pula kubu Macan Putih, yang bakal dilego dengan banderol Rp 100 miliar. Walau Pemkot Kediri bakal mendapat suntikan dana dari cukai rokok yang telah disetujui Departemen Keuangan beberapa waktu lalu sebesar Rp 160 miliar, tak otomatis mengamankan keuangan Persik pada periode kompetisi mendatang.
“Soal dana cukai rokok, kami tak bisa memakai seenaknya karena uang itu dikontrol Depkeu dan alokasi untuk pembangunan fasilitas publik. Dana itu kami akan gunakan untuk mendirikan Politeknik Kediri, bukan untuk sepakbola,” ucap Wali Kota Kediri, H.A. Maschut.
Wacana yang dilontarkan kedua tim di atas agaknya bakal diikuti klub-klub lain yang juga mengalami problem sama. Sebut saja PSS dan Persema. “Ini satu-satunya jalan agar kami bisa tetap hidup tanpa APBD," kata Donald Supit, Sekum Persema.
Tunjukkan Bukti
Sayang, realisasi belum pasti kejelasannya. Belum ada tanda-tanda positif bakal ada pihak swasta menyatakan niatnya mengambil alih klub-klub sepakbola. Pandangan buruk sepakbola Indonesia membuat mereka enggan berinvestasi.
“Dari sisi bisnis jelas tak menguntungkan. Sudah tak dapat imbal balik materi yang sepadan, wibawa perusahaan bisa rusak karena pemberitaan negatif sepakbola Indonesia di media,” tutur salah satu petinggi perusahaan rokok.
Dalam kondisi seperti ini klub dituntut memberi bukti pada calon investor bahwa ada keuntungan yang didapat jika mereka menanam modal di sepakbola. Harga yang dipatok juga realistis.
“Tetapi berharap untuk materi dalam waktu dekat jelas tak mungkin. Paling banter perusahaan swasta menanamkan modal ke klub cuma dapat nama,” sebut Bupati Minahasa yang juga Ketua Persmin, Stevanus Vreeke Runtu.
Urusan jual-menjual klub bukan barang baru di Indonesia. Sebut saja Arema, yang diambil alih perusahaan rokok Bentoel di akhir 2004 dengan nilai Rp 8 miliar, atau Persijatim, yang dibeli Pemprov Sumsel dengan nominal Rp 10 miliar pada tahun 2005.
Soal mekanisme penjualan PSSI dan BLI memberi kebebasan pada klub. “Kami tak boleh ikut campur karena itu urusan intern. Hanya mungkin kami menjadi saksi untuk melegalkan transaksi. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya sengketa di masa depan,” ucap Joko Driyono, Direktur Eksekutif BLI.
Sengketa memang rawan terjadi karena klub perserikatan bukan milik pribadi melainkan dimiliki oleh anggota yang terdiri dari klub-klub amatir.
“Intinya harus minta izin dulu. Sebanyak 36 klub anggota Persib punya saham atas Persib. Mereka pasti tidak akan semudah itu memberi izin untuk menjual klub yang sudah berusia 74 tahun ini,” kata Agus W.S., ketua klub Elput, salah satu anggota Persib.
“Persoalannya apakah klub-klub anggota sanggup membiayai kebutuhan klub di kompetisi? Hal itu tak terjadi di kami. Karena itu Persijatim kami lepas ke Pemprov Sumsel,” ujar M. Zein, mantan pemilik Persijatim.
Sumber : Tabloid Bola
Dua tim papan atas, Persib dan Persik, secara terang-terangan membuka diri pada pihak swasta yang ingin mengambil alih kepemilikan.
“Biaya untuk menghidupi klub sangat besar. Kami harus menanggung gaji plus akomodasi selama menjalani kompetisi. Itu belum terhitung alokasi pemugaran stadion mengikuti aturan Liga Super yang diisyaratkan BLI. Tanpa APBD bagaimana kami bisa menutup semua itu?” ujar Dada Rosada, Wali Kota Persib.
Sebetulnya manajemen Persib telah menawarkan pola sponsorship dan kerja sama kepada BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta nasional, tapi belum membuahkan hasil signifikan. Manajemen sulit mendapat sponsor yang memberi dukungan biaya di atas Rp 3,5 miliar hingga Rp 5 miliar.
"Jika ada yang berani membayar Rp 50 miliar kami akan lepas," kata Dada.
Begitu pula kubu Macan Putih, yang bakal dilego dengan banderol Rp 100 miliar. Walau Pemkot Kediri bakal mendapat suntikan dana dari cukai rokok yang telah disetujui Departemen Keuangan beberapa waktu lalu sebesar Rp 160 miliar, tak otomatis mengamankan keuangan Persik pada periode kompetisi mendatang.
“Soal dana cukai rokok, kami tak bisa memakai seenaknya karena uang itu dikontrol Depkeu dan alokasi untuk pembangunan fasilitas publik. Dana itu kami akan gunakan untuk mendirikan Politeknik Kediri, bukan untuk sepakbola,” ucap Wali Kota Kediri, H.A. Maschut.
Wacana yang dilontarkan kedua tim di atas agaknya bakal diikuti klub-klub lain yang juga mengalami problem sama. Sebut saja PSS dan Persema. “Ini satu-satunya jalan agar kami bisa tetap hidup tanpa APBD," kata Donald Supit, Sekum Persema.
Tunjukkan Bukti
Sayang, realisasi belum pasti kejelasannya. Belum ada tanda-tanda positif bakal ada pihak swasta menyatakan niatnya mengambil alih klub-klub sepakbola. Pandangan buruk sepakbola Indonesia membuat mereka enggan berinvestasi.
“Dari sisi bisnis jelas tak menguntungkan. Sudah tak dapat imbal balik materi yang sepadan, wibawa perusahaan bisa rusak karena pemberitaan negatif sepakbola Indonesia di media,” tutur salah satu petinggi perusahaan rokok.
Dalam kondisi seperti ini klub dituntut memberi bukti pada calon investor bahwa ada keuntungan yang didapat jika mereka menanam modal di sepakbola. Harga yang dipatok juga realistis.
“Tetapi berharap untuk materi dalam waktu dekat jelas tak mungkin. Paling banter perusahaan swasta menanamkan modal ke klub cuma dapat nama,” sebut Bupati Minahasa yang juga Ketua Persmin, Stevanus Vreeke Runtu.
Urusan jual-menjual klub bukan barang baru di Indonesia. Sebut saja Arema, yang diambil alih perusahaan rokok Bentoel di akhir 2004 dengan nilai Rp 8 miliar, atau Persijatim, yang dibeli Pemprov Sumsel dengan nominal Rp 10 miliar pada tahun 2005.
Soal mekanisme penjualan PSSI dan BLI memberi kebebasan pada klub. “Kami tak boleh ikut campur karena itu urusan intern. Hanya mungkin kami menjadi saksi untuk melegalkan transaksi. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya sengketa di masa depan,” ucap Joko Driyono, Direktur Eksekutif BLI.
Sengketa memang rawan terjadi karena klub perserikatan bukan milik pribadi melainkan dimiliki oleh anggota yang terdiri dari klub-klub amatir.
“Intinya harus minta izin dulu. Sebanyak 36 klub anggota Persib punya saham atas Persib. Mereka pasti tidak akan semudah itu memberi izin untuk menjual klub yang sudah berusia 74 tahun ini,” kata Agus W.S., ketua klub Elput, salah satu anggota Persib.
“Persoalannya apakah klub-klub anggota sanggup membiayai kebutuhan klub di kompetisi? Hal itu tak terjadi di kami. Karena itu Persijatim kami lepas ke Pemprov Sumsel,” ujar M. Zein, mantan pemilik Persijatim.
Sumber : Tabloid Bola
Tidak ada komentar:
Posting Komentar